Sabtu, 22 Oktober 2011

Cara Membangun Mental Juara Sejak Dini Pada Anak..

Tiadanya semangat untuk ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik atau mematok standar yang tak rendah bagi diri sendiri seringkali menjadi kendala kesuksesan diri. Bermental juara tanpa perlu menjadi ambisius bukanlah sesuatu yang bisa gampang dipetik. Ada proses sosialisasi dan pembiasaan yang perlu dilakukan, terutama bila diterapkan sejak masa kanak-kanak.
Ketua Jurusan Psikologi Universitas Paramadina, Ayu Dwi Nindyati, Msi, Psi menyatakan bahwa juara tidak hanya merujuk pada anak yang memenangkan kompetisi tertentu. ”Anak bisa juga dikatakan juara saat dia berhasil melakukan apa yang seharusnya dia lakukan,” kata Ayu. Seringkali makna juara yang seperti ini kurang disadari, baik oleh orangtua maupun anak.
Jika orangtua sudah menyadari hal ini, maka hal selanjutnya adalah membentuk mental juara pada anak. ”Membentuk mental juara yang dimaksud adalah bagaimana orangtua membantu anak-anak untuk menang dalam setiap langkahnya,” papar Ayu. Caranya adalah dengan mengajari anak untuk menghargai sekecil apapun prestasi yang dia miliki. ” Dengan begitu, ia juga akan belajar untuk menghargai orang lain,” tambahnya.
Dra. Puji Lestari Prianto, M.Psi, dosen Psikologi Pendidikan dari Fakultas Psikologi Universitas Indonesia menyebutkan bahwa membentuk mental juara juga berarti menempa anak supaya lebih tangguh menghadapi segala tantangan. “Tentu saja untuk masa sekarang ini anak perlu ditempa untuk itu, agar ia siap menghadapi tantangan dan menjadi anak yang mandiri,” urai Puji.
Menurut Puji, banyak manfaat yang dapat diperoleh dari pembentukan mental juara pada anak. Antara lain anak menjadi siap, tidak bergantung pada orang lain, percaya diri, tidak cepat putus asa, serta menjadi sosok pribadi yang terbiasa untuk memecahkan masalah (problem solver).
Cara tepat orangtua membentuk mental juara, kata Puji, adalah dengan tidak selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih kecil. “Orangtua perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak bisa dilepas untuk memecahkan masalahnya sendiri,” kata Puji. Dengan demikian orangtua dapat membentuk anak menjadi tangguh. Selain itu orangtua juga perlu menanamkan motivasi dari dalam diri anak sendiri, sehingga anak tidak selalu harus disuruh dan ditentukan oleh lingkungannya, dalam melakukan segala sesuatu.
Aspirasi vs Ambisi
Orangtua kerap menyalahartikan konsep membentuk mental juara dengan menuntut anak untuk selalu menjadi juara. “Memotivasi memang penting, tapi jangan lupa bahwa antara memotivasi dengan memaksa itu cukup dekat. Orangtua harus hati-hati agar maksud baiknya untuk memotivasi tidak dilakukan dengan memaksa,” kata Ayu.
Ayu yang juga menjadi konsutan Psikologi untuk pengembangan Sumber Daya Manusia ini menyayangkan bahwa seringkali orangtua lebih termotivasi memiliki pride atau prestise saat anak memenangkan sesuatu, sehingga yang dikejar adalah hasilnya, bukan prosesnya.
“Inilah yang menciptakan anak ambisius, di mana anak hanya akan berorientasi pada pencapaian hasil,” ujarnya. Berbeda dengan anak yang memahami proses maka akan tercipta aspirasi di dalam dirinya. ”Anak yang memiliki aspirasi artinya terinspirasi dan termotivasi untuk senantiasa melakukan yang lebih baik lagi,” tambahnya.
Dengan demikian, aspirasi sifatnya lebih jangka panjang daripada ambisi. ”Pada anak yang ambisius, anak akan sangat keras berusaha mencapai sesuatu akan tetapi di lain pihak anak akan cepat puas dan bangga pada yang diperolehnya dan berhenti hanya sampai di situ,” terang Ayu. Oleh sebab itu, ajarlah anak untuk lebih menghargai proses daripada hasil.
Hal senada juga diungkapkan oleh Puji, yang penting bukanlah menjadi juaranya, tetapi bagaimana usaha anak untuk mencapainya. “Anak tidak harus selalu menjadi juara, tetapi menjadi lebih baik dari yang ia lakukan selama ini. Ia bisa lebih percaya diri, siap menghadapi berbagai tantangan,” paparnya.
Puji menambahkan, menghadapi kekalahan pun merupakan salah satu membentuk mental juara. Dalam hidup, seseorang tidak selalu menghadapi keberhasilan tetapi juga dalam saat-saat tertentu menghadapi kegagalan atau ketidakmulusan. “Dengan adanya hal-hal seperti ini, justru anak belajar bahwa diperlukan usaha untuk mengatasi sesuatu,” katanya.

Latih Mental Juara Sejak Dini
Baik Ayu maupun Puji mengatakan bahwa mental juara dapat dibentuk dan dilatih orangtua sejak kecil, terutama begitu anak mulai berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Puji menguatkan penjelasannya dengan teori Erickson yang banyak membahas perkembangan psikososial anak. Menurut teori Erickson, tahun-tahun pertama merupakan tahun pembentukan dasar kepribadiannya kelak, dan dalam hal ini lingkungan sosial amat berpengaruh.
Awal kehidupan anak ditandai dengan adanya trust dan mistrust. Trust atau rasa percaya menunjukkan adanya perasaan kenyamanan fisik dan sedikit rasa takut. Trust di masa kanak-kanak membentuk harapan dalam kehidupan bahwa dunia ini merupakan tempat yang nyaman.
“Jika anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang adalah rasa mistrust,” kata Puji. Ayu juga menekankan bahwa anak bukanlah bentuk mini orang dewasa. “Dalam membentuk mental juara dan memotivasi anak harus mementingkan kenyamanan dan kebahagiaan anak, dengan cara-cara yang fun, jangan sampai anak merasa terpaksa dan tidak enjoy terhadap apa yang diakukannya,” tegasnya.
Selanjutnya, pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy dan shame and doubt. Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul autonomy, tetapi kalau anak banyak diarahkan, dilarang atau “jangan ini, jangan itu” maka akan menjadi anak yang pemalu atau ragu-ragu. Pada usia ini cukup ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan salah satu cara membentuk mental juara.
Sementara pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan initiative dan guilt. Masa ini muncul di usia prasekolah, di mana kehidupan sosial anak sudah lebih berkembang. “Saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu dikembangkan agar anak bisa mengatasi atau beradaptasi dengan lingkungannya,” jelas Puji. Anak belajar untuk bertanggungjawab atas berbagai hal, misalnya menjaga milik mereka. Berkembangnya rasa tanggung jawab akan menanamkan rasa inisiatif pada diri anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan cemas dikarenakan tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri. Dengan adanya pengalaman dari lingkungan yag menjadikan anak memiliki rasa percaya pada dunianya, mandiri dan penuh inisiatif, diharapkan membuat anak akan lebih siap menghadapi dunianya.

Hal yang Perlu Diwaspadai
Dalam membentuk mental juara serta memotivasi anak ada beberapa hal yang penting diwaspadai. “Anak menjadi juara bisa membuat anak lebih percaya diri, inilah dampak positifnya. Yang perlu dijaga adalah bila suatu saat anak ini sudah tidak menjadi juara lagi,” papar Ayu. Menurutnya, anak yang selalu atau sangat sering menjadi juara kerap menjadi lebih down ketika mengalami kegagalan. ”Terlebih lagi jika orang-orang di sekitarnya bersifat menyalahkan, anak bisa merasa tidak berharga dan tidak dicintai lagi karena sudah gagal,” sambungnya.
Hal semacam inilah yang biasanya terjadi apabila orangtua dan lingkungan anak yang lebih mengutamakan hasil daripada proses. Akibatnya self-esteem atau penghargaan diri anak menjadi relatif rendah.Hal lain yang perlu diwaspadai adalah munculnya sifat angkuh atau sombong pada anak yang sering menjadi juara atau pemenang. “Sejak awal anak mengikuti suatu kompetisi tertentu, dia harus disiapkan untuk menang maupun kalah,” tegas Ayu. Pujian maupun evaluasi hendaknya diberikan secara proporsional. “Sekecil apapun achievement anak perlu dihargai. Di sisi lain apa yang menjadi kelemahan atau kekurangannya perlu dievaluasi, dicari solusinya,” jelasnya. Dengan demikian anak tidak sombong, tetapi juga masih mau berusaha untuk lebih baik di kesempatan yang akan datang. Yang juga perlu diperhatikan dalam membentuk mental juara ialah menghindarkan anak dari sikap individualis. Seyogyanya anak bermental juara justru mampu beresonansi dengan lingkungan sekitarnya. “Anak yang menghargai dirinya sendiri berdasarkan proses, biasanya juga akan menghargai orang lain,” kata Ayu. Menurut Puji, anak perlu diajarkan untuk menyadari siapa dirinya dan bisa menjelaskan bagaimana hubungannya dengan orang lain.  “Dengan memahami siapa dirinya, mengetahui apa kelebihan dan kelemahan dirinya, maka ia akan tahu perannya: apa yang ia miliki, apa yang ia bisa dan apa yang ia akan lakukan,” urai Puji. Bila ini sudah tercapai, anak akan bisa mandiri tanpa melupakan hakikatnya sebagai makhluk sosial.
Catatan penting bagi setiap orangtua adalah bahwa mental juara dapat dibentuk atau dilatih oleh siapapun, termasuk dari orangtua yang pernah gagal atau tidak terlalu sukses. “Yang perlu diingat adalah bagaimana orangtua menghadapi kegagalan itu sendiri, apakah orangtua merupakan orangtua yang optimis atau frustrasi dan pencemas,” kata Puji. Jika orangtua yang kurang berhasil tetapi ia memiliki kepribadian yang positif dan memiliki motivasi dan keinginan untuk mengembangkan anaknya dalam lingkungan yang sehat , tidak ada paksaan, diharapkan anak bisa tangguh menghadapi tantangan. Setiap anak mampu menjadi juara! Hal ini harus disadari oleh setiap orangtua. Tapi juara juga tidak dicetak dengan mudahnya, butuh usaha dan proses. Salah satu prestasi anak Indonesia yang paling membanggakan adalah ketika Tim Indonesia menjadi Juara Dunia dalam Olimpiade Fisika.
Prof Yohanes Surya PhD, fisikawan, peneliti, sekaligus pendidik yang membawa anak-anak Indonesia meraih kemenangan tersebut, membagi rahasia sukses juara dunia olimpiade fisika ke dalam sebuah buku berjudul An Inspirational Book: Mestakung. Konsep yang disebutnya sebagai Mestakung (Semesta Mendukung tersebut diambil dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel di sekelilingnya bekerja serentak untuk mencapai titik ideal. Berikut ini nilai-nilai penting dari konsep Mestakung, yang akan dapat menginspirasi Anda, para orangtua yang hendak membentuk mental juara pada anak:
1.    Mestakung Terjadi Dimana-mana
Tugas prakarya Amir harus dikumpulkan besok pagi. Awalnya Amir begitu stres karena belum mengerjakan apa-apa. Dia pun mulai bekerja dan bekerja, seluruh sel-sel tubuhnya mulai dari kaki, tangan hingga otak bekerja bersama-sama. Bahkan ayah, ibu, kakak dan adiknya tergerak untuk membantu. Akhirnya pekerjaan Amir pun selesai. Mestakung pun terjadi dalam hal sehari-hari seperti ini.
2.    Mestakung terjadi ketika kita melangkah
Tantangan dan hambatan akan senantiasa hadir dalam setiap langkah kehidupan. Mestakung terjadi bila kita tidak takut untuk terus melangkah, bahkan sampai melakukan pengorbanan jika perlu. Mestakung berawal dari niat dan kegigihan.
3.    Mestakung dalam otak melahirkan kreativitas.
Salah satu ciri mental juara adalah pioneer (perintis) yang memiliki kreativitas tinggi.
4.    Mestakung butuh waktu dan kesabaran.
Mestakung merupakan proses yang tidak didapatkan dalam sekejap.
5.    Tidak ada kamus menyerah dalam mestakung.
Bermental juara berarti siap untuk terus berusaha dan melakukan lebih baik. 
6.    Mestakung pantang bicara ”tidak mungkin”.
Segala sesuatu adalah mungkin asal kita berupaya.
7.    Mestakung dimulai dari mimpi
Impian dan cita-cita merupakan titik awal sebuah proses pencapaian
8.    Mestakung butuh fokus.
Seperti halnya anak-anak dalam tim olimpiade fisika yang berhasil menjadi juara dunia, ajar anak untuk memiliki fokus dalam hidupnya. Dengan demikian proses pencapaian yang dijalaninya memiliki tujuan-tujuan yang jelas.
9.    Mestakung tidak mengenal kata ”gagal”.
Kekalahan hanyalah kemenangan yang tertunda. Terus yakinkan anak bahwa dia selalu dapat berbuat lebih baik dari waktu ke waktu
10.  Mestakung menghasilkan sukses yang luar biasa.
Dari proses panjang yang telah dilewati pada akhirnya akan ada hasil yang dicapai.
11. Bermimpilah setinggi-tingginya dan raihlah itu.
Biarkan anak memiliki impian dan cita-cita, serta bantulah dia untuk mewujudkannya.
12.  Kritis, Langkah dan Tekun.
Kunci Mestakung adalah Kritis, Langkah dan Tekun. Saat anak menghadapi masa kritis, misalnya saat ujian atau sedang bertanding, dampingi anak untuk terus melangkah dengan tekun.

 

0 komentar: