Sabtu, 22 Oktober 2011

Bunuh Diri, Bukanlah Jalan Keluar Untuk Mengatasi Masalah Anda….!!!!!!!!

Hampir sering kita dengar dan lihat diberbagai media massa maupun elektronik akan banyaknya yang melakukan bunuh diri. Ada yang bunuh diri dengan terjun dari gedung yang tinggi, menjerat lehernya dengan seutas tali, meminum racun bahkan melakukan bom bunuh diri. Bunuh diri adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan nyawa sendiri dan berdosa karena telah mendahului takdir, pelaku bunuh diri juga sebagai tanda bahwa ia adalah orang yang putus asa. Bunuh diri yang dewasa ini sangat memprihatinkan. Tindakan bunuh diri yang dilakukan dapat mencerminkan bahwa lingkungan sosialnya kurang peka terhadap keadaan di sekeliling. Dengan demikian, tindakan bunuh diri semestinya dapat dicegah seandainya lingkungan sosialnya peka dan membantu orang yang sedang menghadapi masalah. Mengapa orang memilih bunuh diri? Secara umum, stres muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat dan sebagainya. Demikian pula bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan atau terputusnya hubungan dengan orang yang disayangi. Padahal hubungan interpersonal merupakan sifat alami manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan karena perasaan bersalah. Suami membunuh isteri, kemudian dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus, depresi berat menjadi penyebab utama. Depresi timbul, karena pelaku tidak kuat menanggung beban permasalahan yang menimpa. Karena terus menerus mendapat tekanan, masalah yang menumpuk dan pada puncaknya memicu keinginan bunuh diri.
Penyebab bunuh diri
Di Jepang, orang kebanyakan melakukan bunuh diri untuk memperlihatkan kesetiaanya ataupun sebagai cara untuk mempertahankan harga dirinya. Banyak kita mendengar pejabat/menteri yang melakukan bunuh diri bila ia merasa telah gagal dalam melaksanakan tugasnya. Di Swedia pelaku bunuh diri biasanya di latar belakangi oleh penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Usia pelaku bunuh diri di negara tersebut rata-rata berkisar antara 16 – 34 tahun. Sedangkan di Indonesia, pelaku bunuh diri biasanya di latar belakangi oleh kesulitan ekonomi, putus asa, masalah percintaan dan sisanya disebabkan oleh masalah-masalah lain.
Untuk menelaah kenapa seseorang melakukan bunuh diri. Minimal harus memenuhi dua syarat, pertama adanya faktor pendahulu yang mempengaruhi seseorang melakukan percobaan bunuh diri, dan kedua adanya faktor pencetus dan situasi yang mendorong seseorang melakukan bunuh diri. Faktor pendorong orang melakukan bunuh diri ini dianggap paling banyak mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan bunuh diri. bila faktor pendorong yang dimiliki seseorang itu tidak didukung dengan penguasaan eksternal yang kuat, maka perilaku ini akan mendorong seseorang untuk melakukan bunuh diri. Walaupun sejauh ini dan apapun alasannya, seseorang itu melakukan bunuh diri memang sulit dicari penyebabnya. Namun paling tidak sebagian orang yang telah melakukan bunuh diri, seringkali meninggalkan catatan kecil atau semacam surat terakhir untuk orang yang ditinggalkannya yang memberikan kesan tentang suatu masalah yang dia hadapi sebagai penyebab mereka memutuskan bunuh diri. Catatan-catatan kecil itu, hampir semuanya menjelaskan bahwa mereka memutuskan untuk bunuh diri lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kisah asmara dan keluarga.
Durkheim dalam bukunya Suicide. menganalisa bahwa faktor solidaritas sangat terkait dengan kecendrungan seseorang melakukan bunuh diri. Secara implisit, solidaritas sosial terkait dengan faktor ekonomi dan keluarga. Sebab kekentalan nilai kohesif yang ada dalam setiap individu untuk berbagi rasa sangat mewarnai pilihan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan bunuh diri terkait dengan tingkat keterikatan seseorang dengan masyarakat. Durkheim menyatakan bunuh diri biasanya terjadi ketika seseorang tidak memiliki ikatan sosial atau hubungan dekat. Bunuh diri terjadi ketika seseorang mengalami keterasingan (anomie) dari lingkungannya. Seringkali fenomena bunuh diri secara psikologis diasosiasikan dengan masalah pribadi. Tetapi secara sosial, bunuh diri tidak bisa lepas dari problem sosial kemasyarakatan. James Frazer, mencoba memecahkan teka-teki bunuh diri ini dikaitkan dengan pemahaman religi. Teori Frazer tentang batas akal mencoba menjelaskan fenomena bunuh diri ini. Bahwa seseorang dalam kapasitas tertentu akan mencoba memecahkan setiap persoalan hidupnya dengan akal sehat (rasionalitas) nya. Namun batas akal seseorang ini memiliki batas toleransi, dimana bila himpitan persoalan itu telah mencapai puncaknya dan akal mereka sudah tidak mampu lagi mencerna, maka seseorang cenderung akan memecahkan persoalan hidupnya secara irasional melalui perantaraan religi. Penguasaan religi seseorang itu menurut Frazer sangat relatif, maka ini dianggap sebagai penguasaan eksternal yang menjelaskan bahwa seseorang itu jadi atau tidaknya melakukan bunuh diri. Pemahaman faktor eksternal yang kuat, dalam hal ini religi dapat menekan perilaku bunuh diri. Dengan demikian religi memiliki fungsi sebagai peredam kegundahan hati manusia. Maka menurut Frazer seseorang yang cukup kuat penguasaan religinya, mereka akan menyikapi segala persoalan hidupnya dengan sikap mental positif dan adanya rasa kepasrahan (tawakal). Namun mereka yang tidak mampu memecahkan masalah hidupnya dan penguasaan religinya juga rendah, cenderung untuk mengambil jalan pintas dengan jalan bunuh diri.
Gejala bunuh diri di Indonesia menunjukkan grafik kenaikan. Kondisi ini bila dilihat secara ekonomi sekarang ini memang tidak kondusif untuk sebagian masyarakat. Tingginya angka pengangguran, kenaikan sejumlah harga kebutuhan pokok, kemiskinan, bencana alam, dan konflik horizontal, telah menyebabkan sebagian dari masyarakat kita mengalami kesulitan hidup. Di pihak lain, bagi mereka yang tidak mampu berusaha survival dan melakukan penyimpangan perilaku ditambah memiliki penguasaan eksternal yang rendah maka pilihan bunuh diri adalah yang paling mudah untuk dilakukan. Karena dengan bunuh diri dianggap persoalan hidup yang kurang menguntungkan bagi dirinya terselesaikan. Maka jadi wajar bila angka bunuh diri semakin meningkat di tengah alam ekonomi dan belenggu kemiskinan banyak memihak pada kaum yang mudah putus asa karena penguasaan eksternalnya lemah. Banyak teori tentang mengapa orang nekat bunuh diri. Ada bunuh diri absurditas, bunuh diri eksistensialis, bunuh diri
patologis, bahkan bunuh diri berlandaskan romantisme dan heroisme. Untuk masyarakat Indonesia, kebingungan atau faktor anomik menjadi penyebab paling banyak kasus bunuh diri. seperti kejiwaan, kebudayaan, dan juga sosial ekonomi.
Adapun penyebab seseorang bunuh diri, yaitu atruistik, katalisme, dan anomik, untuk faktor atruistik, bunuh diri biasanya disebabkan kepada kecintaan terhadap agama, negara, atau kehormatan keluarga. Contohnya aksi bom bunuh diri atau jihad. Sedangkan untuk bunuh diri katalisme, terjadi ketika seseorang sudah merasa hidupnya tak berharga lagi yang berujung putus asa atau depresi. Misalnya di Amerika, orangtua yang sudah berumur 70 tahun dan merasa tak ada lagi yang bisa dilakukan, sehingga bunuh diri. Atau bunuh diri karena madzhab tertentu yang merasa di dunia ini sudah tak ada artinya, Faktor ketiga yaitu anomik merupakan penyebab yang paling banyak terjadi pada kasus bunuh diri di Indonesia. Pada umumnya kasus-kasus bunuh diri di masyarakat kita, selain karena persoalan ekonomi, juga banyak dipengaruhi mengendurnya ikatan kekeluargaan. penyebab bunuh diri seperti kegagalan beradaptasi, kegagalan hubungan interpersonal dengan orang lain hingga merasa terisolasi, kemarahan akibat ketidakmampuan mengendalikan emosi, serta ungkapan ketidakberdayaan atas berbagai masalah yang ia hadapi. Cara mengakhiri hidup itu dapat diklasifikasi menjadi empat dasar yang dikombinasikan menjadi NASH (Natural Accident Suicide and Homicide). Homicide atau pembunuhan, termasuk dalam disiplin Ilmu Kniminologi. Sedangkan suicide (bunuh diri), adalah ilmu yang mempelajari latar belakang, jenis, teknik bunuh diri dan upaya pencegahannya secara ilmiah dan manusiawi.
Upaya mengatasi bunuh diri
Upaya preventif dapat dilakukan oleh para pakar dari berbagai disiplin ilmu seperti psikiater, dokter, perawat, psikolog, sosiolog, pendidik, tenaga kesehatan masyarakat dan lain-lain. Masalah bunuh diri memang sangat kompleks, dari pendekatan segi ilmu kesehatan masyarakat ada beberapa hal yang perlu disikapi sebagai upaya pencegahan secara dini yaitu perlunya meningkatkan peran, fungsi dan tugas keluarga dan dukungan dari masyarakat. Upaya pencegahan pada tingkat masyarakat yaitu dapat memberikan perhatian, bimbingan dan bantuan untuk memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh seseorang atau keluarga.
Warga masyarakat, perlu menajamkan kepekaan terhadap kesulitan orang-orang disekitarnya serta peran pemerintah sangat diperlukan berperan aktif, dalam melindungi dan menjaga ketentraman masyarakatnya. Upaya pencegahan juga harus dilakukan di institusi pendidikan. Sedangkan nilai budaya yang dipercaya di suatu masyarakat yang sebenarnya salah terkait dengan bunuh diri dapat dihilangkan secara perlahan-lahan seiring dengan meningkatnya tingkat pengetahuan dan pendidikan keluarga dan masyarakat serta meningkatnya pemahaman dan keyakinan seseorang pada ajaran agama secara benar. Dukungan dari masyarakat, keluarga sangat berarti dalam upaya menekan tingginya kasus bunuh diri. Lingkungan keluarga, masyarakat harus diciptakan agar sehat, agamis, bersahabat, damai dan nyaman sehingga pelaku bunuh diri tidak akan mencoba untuk melakukan perbuatan bunuh diri.
Written By : Rio Armanda Agustian, S.H., M.H.
Dosen, Kriminolog, Peneliti Fakultas Hukum dan Ilmu Sosial
Universitas Bangka Belitung

0 komentar: